Perang Salib I
I. Pendahuluan Perang Salib adalah perang agama yang terjadi selama hampir tiga abad sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Perang ini terjadi karena sejak tahun 632 sampai meletusnya Perang Salib sejumlah kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen telah diduduki oleh umat Islam, seperti Suriah, Asia Kecil, Spanyol, dan Sicilia. Disebut Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerusalem) dari tangan orang-orang Islam. . II. Isi Untuk lebih terfokus dalam penyajian tema ini, maka penulis akan membahas pada pokok permasalahan dibawah ini, yaitu : Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Perang salib ? 2. Bagaimana Perang Salib dimulai ? 3. Bagaimana dampak Perang Salib terhadap peradaban Islam ? 4. Bagaimana pengaruh Perang Salib terhadap kekhilafahan Bani Abbasiyah ? Untuk membahas rumusan permasalahan tersebut, penulis mencoba menggunakan metode historis analisis dengan bersumber dari berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. 2.1. Faktor Penyebab Terjadinya Perang Salib Adapun yang menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya Perang Salib adalah faktor agama, politik, dan sosial ekonomi. Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dari faktor-faktor tersebut, penulis berusaha menjelaskan satu persatu dari setiap faktor itu.[1] 1. Faktor Agama Sejak Dinasti Seljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1070 M bertepatan pada tahun 471 H, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi memunaikan ibadah ke sana. Hal ini disebabkan karena para penguasa Seljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.[2] Perlu diketahui, bahwa Dinasti Seljuk ialah dinasti yang pernah memerintah Kekhilafahan Abbasiyah setelah Dinasti Buwaih pada tahun 1055 M-1194 M (Yatim, 2003:50). Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu, dan dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq, karenanya mereka disebut orang-orang Seljuk. Termasuk juga faktor agama yaitu, adanya perasaan keagamaan yang kuat dikalangan umat Kristen. Mereka meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walaupun dosa itu setinggi langit.[3] 2. Faktor Politik Kekalahan Bizantium -sejak 330 disebut Konstantinopel (Istambul)- di Manzikart (Malazkird atau Malasyird, Armenia) pada tahun 1071 M dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Seljuk, telah mendorong Kaisar Alexius I Commenus (Kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (1035-1099; menjadi Paus dari 1088 sampai 1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti Seljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Oleh karena itu Paus Urbanus II berpidato kepada seluruh umat Kristen Eropa di Clermont pada tahun 1095 M untuk melakukan perang suci. Dia juga mengetahui berbagai kesuksesan Kristen di Spanyol, yang mencapai puncaknya dengan direbutnya Toledo, dan penaklukan di Sisilia.[4] Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah, sehingga orang-orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Ketika itu Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, Dinasti Fatimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segitiga antara Khalifah Fatimiyah di Mesir, Khalifah Abbasiyah di Baghdad, dan Amir Umayyah di Cordoba yang memproklamasikan dirinya sebagai Khalifah. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti-dinasti kecil di Edessa (ar-Ruha') dan Baitul Maqdis[5]. 3. Faktor Sosial Ekonomi Pedagang-pedagang besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada dikota Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambungt dengan rute-rute perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serat kesatria, dan rakyat jelata. Meskipun kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat, tetapi mereka menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina, mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-semena dan mereka dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika mareka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan berduyun-duyun melibatkan diri dalam perang tersebut. 2.2. Bagaimana Perang Salib Dimulai ? Paus Urbanus II bersemangat terhadap gagasan memerangi kaum Muslimin, apalagi kondisinya katika itu sangat tepat bagi Sri Paus untuk memompa semangat dan menuruti bisikan hatinya yang penuh dengan kedengkian dan kebencian itu. Kondisi ketika itu teringkas dalam poin-poin berikut: 1. Kelemahan Dinasti Seljuk pasca wafatnya Malik Syah, akibatnya negara Seljuk terpecah-pecah. 2. Tidak adanya pemimpin yang kuat yang menyatukan perpecahan umat Islam dan membentuk pasukan yang tangguh guna mengusir setiap lawan yang bermaksud jahat kepadanya. 3. Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen, ini berarti membuka jalan antara Eropa dan negara-negara Timur 4. Penaklukan Qarsinah di laut tengah dan berdirinya republik-republik kuat dan kaya raya di Italia seperti Januh dan Bunduqiyah. Republik-republik tersebut memiliki angkatan laut yang kuat untuk melindungi keselamatan bisnisnya. 5. Kemenangan Sri Paus dalam mengendalikan para raja dan para gubernur di Eropa. Karena kondisi-kondisi di atas, Sri Paus berani mengumumkan terang-terangan permusuhannya dan kebenciannya kepada kaum Muslimin. Ia menyerukan diselenggarakannya kongres tahunan yang dihadiri oleh seluruh sekte agama Kristen di Eropa Barat. Seruan Sri Paus disambut sebagian besar umat Kristiani yang dihadiri 225 uskup gereja-gereja Eropa. Sri Paus berpidato di hadapan mereka dan membakar sentimentil para hadirin. Ia jelaskan kondisi terakhir Baitul Maqdis dan mengusulkan pembebasannya dari tangan kaum Muslimin. Para peserta kongres menjawab dengan bodohnya: "Itulah sebenarnya yang dikehendaki Allah!". Sri Paus puas dengan jawaban para peserta kongres kemudian ia pasang salib di atas lengan para sukarelawan sebagai tanda bahwa perang ini adalah suci. 2.3. Periode Pertama atau Periode penaklukan (1096-1144) Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II pada Konsili Clermont pada tanggal 26 November 1095 M. Pidatonya ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Gerakan ini dipimpin oleh Pierre I'Ermite, Sepanjang jalan menuju Kontanstantinopel, mereka membuat keonaran, melakukan perampokan, dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan Bizantium, akhirnya dengan mudah pasukan Salib dapat dikalahkan oleh pasukan Dinasti Seljuk.[6] Pasukan Salib angkatan berikutnya dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond. Gerakan kali ini merupakan ekspedisi militer yang terorganisasi dan rapi, dan mereka memperoleh kemenangan yang besar dengan menaklukan Nicea pada tanggal 18 Juni 1097 M, dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di Timur dengan Bohemond sebagai raja. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis pada tanggal 15 Juli 1099 M dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya, Godfrey. Selanjutnya mereka berturut-turut menguasai kota Akka pada tahun 1104 M, Tripoli tahun 1109 M dengan mendirikan kerajaan Latin IV dan rajanya Raymond, kemudian kota Tyre pada tahun 1124 M.[7] |
|
2.4. Perang SALIB 1
Pada tahun 490 H/1096 M. sebuah pasukan salib yang dipimpin oleh komandan Walter dapat ditundukkan oleh kekuatan Kristen Bulgaria. Kemudian Peter yang mengkomandoi kelompok kedua pasukan salib bergerak melalui Hungaria dan Bulgaria. Pasukan ini berhasil menghancurkan setiap kekuatan yang menghalanginya. Seorang sultan negeri Nice berhasil menghadapinya bahkan sebagian pimpinan salib berkenan memeluk lslam dan sebagian pasukan mereka terbunuh dalam peperangan ini.
Setahun kemudian yakni pada tahun 491 H/1097 M. pasukan Kristen di bawah komandan Coldfrey bergerak dari Konstantinopel menyeberangi selat Bosporus dan berhasil menaklukkan Antioch (Antakia) setelah mengepungnya selama 9 bulan. Pada pengepungan ini pasukan salib melakukan pembantaian secara kejam tanpa prikemanusiaan.[8]
Setelah berhasil menundukkan Antioch, pasukan salib bergerak ke Ma’arrat al-Nu’ man, sebuah kota termegah di Syria. Di kota ini pasukan Salib juga melakukan pembantaian ribuan orang. Pasukan salib selanjutnya menuju ke Yerusalem dan dapat menaklukkannya dengan mudah. Ribuan jiwa muslirn menjadi kurban pembantaian dalam penaklukan kota Yerusalern ini. “Tumpukan kepala, tangan dan kaki terdapat disegala penjuru jalan dan sudur kota”. Sejarah telah menyaksikan sebuah tragedi manusia yang memilukan. Goldfrey selanjutnya menjabat sebagai penguasa atas negeri Yerusalem. Ia adalah penguasa yang cakap, dan komandan yang bersemangat dan agresif.
Pada tahun 503 H/1109 M., pasukan salib menaklukkan Tripoli. Mereka selain membantai masyarakat Tripoli juga membakar perpustakaan, perguruan dan sarana industri hingga menjadi abu.
Selama terjadi penyerangan di atas, kesultanan Saljuk sedang dalam kemunduran. Perselisihan antara sultan-sultan Saljuk memudahkan pasukan salib merebut wilayah-wilayah kekuasaan islam. Dalam kondisi seperti ini muncullah seorang sultan Damaskus yang bernama Muhammad yang berusaha mengabaikan konflik internal dan menggalang kesatuan dan kekuatan Saljuk untuk mengusir pasukan salib. Baldwin, penguasa Yerusalem pengganti Goldfrey, dapat dikalahkan oleh pasukan Saljuk ketika ia sedang menyerang kota Damaskus. Baldwin segera dapat merebut kembali wilayah-wilayah yang lepas setelah datang bantuan pasukan dari Eropa.
Sepeninggal Sultan Mahmud, tampillah seorang perwira muslirn yang cakap dan gagah pemberani. Ia adalah Imaduddin Zangki, seorang anak dari pejabattinggi Sultan Malik Syah. Atas kecakapannya, ia menerima kepercayaan berkuasa atas kota Wasit dari Sultan Mahmud. Belakangan penguasa Mosul dan Mesopotamia juga berlindung kepadanya. la menerima gelar Attabek dari khalifah di Bagdad. Ia telah mencurahkan kemampuannya dalam upaya mengembalikan kekuatan pemerintahan Saljuk dan menyusun kekuatan militer, sebelum ia mengabdikan diri di kancah peperangan salib.
Masyarakat Aleppo dan Hammah yang menderita di bawah kekuasaan pasukan salib berhasil diselamatkan oleh Imaduddin Zangki setelah berhasil mengalahkan pasukan salib. Tahun berikutnya ia juga berhasil mengusir pasukan salib dari al- Asyarib. Satu-persatu Zangki meraih kemenangan atas pasukan salib, hingga ia merebut wilayah Edessa pada tahun 539 H/1144 M. Dalam pada itu, bangsa Romawi menjalin kekuatan gabungan dengan pasukan Perancis menyerang Buzza. Mereka menangkap dan membunuh perernpuan dan anak-anak yang tidak berdosa. Dari sini mereka melancarkan serangan ke Caesarea. Penguasa negeri ini yakni Abu Asakir nneminta bantuan pasukan Imaduddin Zangki. Zangki segera mengerahkan pasukannya dan ia berhasil mengusir kekuatan Perancis dan Romawi secara memalukan. Wilayah perbatasan di Akra berhasil digrebek hingga menyerah, demikian pula kota Balbek segera ditaklukkan, untuk selanjutnya pendudukan kota Balbek ini dipercayakan kepada komandan Najamuddin, ayah Salahuddin.
Penaklukan Edesa merupakan keberhasilan Zangki yang terhebat. Oleh umat Kristen Edessa merupakan kota yang termulya, karenanya kota ini dijadikan sebagai pusat kepuasan. Dalam penaklukan Edessa, Zangki tidak berlaku kejam terhadap penduduk sebagaimana tindakan pasukan salib. Tidak seorang pun merasakan tajamnya mata pedang Zangki, kecuali pasukan salib yang sedang bertempur yang sebagian besar adalah pasukan Perancis.
Dalam perjalanan penaklukan Kalat Jabir, Zangki terbunuh oleh tentaranya sendiri. Selama ini Zangki adalah seorang patriot sejati yang telah berjuang demi membela tanah airnya. Baginya, “pelana kuda lebih nyaman dan lebih dicintainya dari pada kasur sutra, dan juga suara hiruk-pikuk di medan peperangan terdengar lebih merdu dan lebih dicintainya daripada alunan musik”.
Kepemimpinan Imaduddin Zangki digantikan oleh putranya yang bernama Nuruddin Mahmud. Ia bukan hanya seorang prajurit yang cakap, sekaligus juga ahli hukum, dan juga seorang ilmuan. Pada saat itu umat Kristen Edessa dengan bantuan pasukan Perancis herhasil mengalah pasukan muslim yang bertugas di kota ini dan sekal i gus membanta i nya. N uruddi n segera mengerahkan pasukannya ke Edessa dan berhasil merebutnya kembali Sejumlah pasukan Edessa dan para pengkhianat dihukum dengan mata pedang, sedangkan bangsa Armenia yang bersekutu dengan pasukan salib diusir ke luar negeri Edesa.
Dalam hal ini ada juga versi yang mengatakan bahwa terjadinya perang salin I adalah berpuncak daripada rayuan Alexius I kepada Paus Urban II meminta tentera upahan menolongnya menyekat kemaraan tentera Islam ke dalam wilayah Empayar Bizantine.[9] Pada 1071, Empayar Bizantine ditumpaskan di Pertempuran Manzikert, dan kekalahan ini menyebabkan Empayar kehilangan kesemua wilayah kecuali kawasan pesisiran Asia Minor (Turki baru). Walaupun Perpecahan Timur-Barat sedang bergolak antara penganut Roman Katolik di Barat dan gereja Yunani Ortodoks di Timur, Alexius I masih mengharapkan sedikit bantuan daripada rakan Kristian yang lain. Jawapan yang diterimanya adalah menggalakkan, Paus telah memanggil satu bala tentera penakluk yang besar bukan sahaja mempertahankan Empayar Byzantine, malah mengambil semula Baitulmuqaddis.
Apabila Perang Salib Pertama mula diseru pada 1095, pemuda-pemuda Kristian di utara Iberia telah pun berperang bersama di pergunungan Galicia dan Asturias, negara Basque dan Navarre, dengan memperoleh banyak kejayaan untuk kira-kira seratus tahun. Kejatuhan kerajaan Islam Moor di Toledo kepada kerajaan León pada 1085 adalah dianggap satu kemenangan yang besar, namun Reconquista masih mahu diteruskan. Pada masa itu terdapat perpecahan dikalangan amir-amir Islam, dan kebanyakan keluarga orang Kristian berada di negara yang selamat. Mereka (orang kristian) tidak tahu apa-apa kecuali bergaduh, mereka juga tiada sebarang taman mahupun perpustakaan untuk dipertahankan, dan mereka harus mara ke wilayah asing yang dihuni oleh orang 'kafir'. Semua faktor-faktor ini digunakan sebagai alasan berperang dengan orang Islam. Sejarawan Sepanyol melihat Reconquista sebagai acuan penting membentuk sebuah pasukan yang berwatak Castilian, dengan kesedaran "kebaikan tertinggi adalah untuk mati bertarung demi agama Kristian sesuatu negara".[10]
Reconquista adalah contoh paling ketara perang Kristian terhadap penaklukan Islam selain beberapa contoh lain seperti penjelajah seorang Norman, Robert Guiscard, untuk menakluki "toe of Itali," Calabria, pada 1057 dan mempertahankan kawasan yang secara tradisinya wilayah Bizantine, daripada orang Islam di Sicily. Negeri-negeri maritim Pisa, Genoa dan Catalonia semuanya berjuang menentang kubu Islam di Majorca dan Sardinia, membebaskan susur Itali dan Catalonia daripada serangan-serangan Islam. Terdahulu dari itu tanah air Kristian di Syria, Lebanon, Palestin, Mesir, dan sebagainya pernah menjadi taklukan askar-askar Islam. Sejarah berpanjangan yang menyaksikan kejatuhan wilayah-wilayah Kristian ke tangan musuh berlainan agama telah menghasilkan satu dorongan kuat untuk menerima seruan maharaja Byzantine, Alexius I, melancarkan perang agama demi mempertahankan seluruh penganut Kristian, dan mengambil semula tanah-tanah yang telah jatuh ketangan Islam bermula dengan Baitulmuqaddis.
Paus Gregory VII pada mulanya ragu-ragu untuk mengorbankan darah awam bagi perang agama. Keraguan hilang apabila tindakan perang dilihat sebagai keganasan yang bersebab antaranya kerana penyeksaan orang-orang Kristian yang melakukan lawatan suci ke Tanah Suci. Dan pada orang Kristian, yang menentang Arianisme dan fahaman menyeleweng lain, keganasan kepada kaum 'kafir' adalah perkara biasa yang diterima. Santos Augistine daripada Hippo misalnya menunjukkan bahawa penggunaan kekerasan untuk berkhidmat kepada Tuhan di Bandar Raya Tuhan adalah wajar dan bagi seorang penganut Kristian "perang yang adil" dapat meninggikan kedudukan seorang pemimpin yang agresif dan bercita-cita tinggi di Eropah seperti Paus Gregory sendiri. Di utara Rome, satria yang menyusahkan boleh dipergunakan dalam perang. Di selatan Rom, tentera Norman menunjukkan potensi untuk dipergunakan bagi menghadapi orang Arab (di Sicily) dan pihak Byzantine di tanah besar. Menguasai Constantinople juga akan memperkukuhkan kuasa Papal setelah perlaku perpecahan agama Kristian pada tahun 1054.
Di Byzantine, kelemahan maharaja terserlah berikutan kekalahan dalam Pertempuran Manzikert pada 1071, yang menguncupkan Empayarnya di wilayah Asia kepada sebuah rantau di barat Anatolia dan di sekitar Constantinople. Dalam keadaan terdesak, maharaja Byzantine, Alexius I Comnenus, meminta bantuan daripada musuhnya iaitu Paus. Tetapi Paus Gregory pada ketika itu begitu sibuk dengan Kontroversi Istiadat Pengurniaan dan tidak dapat membantu maharaja tersebut dan Perang Salib ini tidak terjadi. Bagi pengganti Gregory yang lebih sederhana iaitu Paus Urban II, Perang Salib akan menyatukan semula seluruh penganut Kristian, menyokong Papal, dan mungkin membawa negara di timur di bawah kawalannya. Rakyat Jerman dan Norman yang tidak puas hati tidak perlu dijadikan sandaran kerana 'jantung' dan 'tulang belakang' perang agama ini boleh diperoleh di kalangan orang Perancis utara.
Kondisi Sesudah Perang Salib Pertama
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas.[11] Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu. Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa. Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
III. Kesimpulan
Dalam kesimpulan ini dapat dilihat bahwa sebenarnya kedua agama yang sama-sama tidak menginginkan terjadinya perang, tidak satu tradisi pun yang menyetujui pembantaian yang kejam. Keduanya membatasi sarana-sarana yang boleh digunakan dalam perang dan orang-orang yang tidak boleh dikenai bahkan oleh sarana-sarana yang diperbolehkan itu. Keduanya menekankan bahwa perang demi agama hanya boleh digunakan dalam dengan otoritas yang benar-benar sah, dan bahwa otoritas ini memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakan pasukan yang dipimpinnya. Masing-masing agama mempunyai pangung tradisi yang berbeda. Tradisi Jerman bagi umat Kristen dan tradisi Arab bagi Islam[12].
Perbedaan semacam itu khas dalam perang antar dua budaya berbeda. Perang itu biasanya cenderung tidak mengindahkan batasan-batasan yang ditetapkan di dalam kerangka budaya pihak-pihak yang berperang, sebab batasan-batasan yang diterima tidak selalu berhubungan dan harus diusahakan tindakan timbal balik yang baru. Penerimaan Kristen akan perang bisa dikatakan bersyarat. Tindakaan kekerasan dibenarkan hanya jika dilakukan untuk melawan kejahatan, serdadu dan diperintahkan untuk membenci dosa yang diperanginya, bukan sipendosa itu sendiri.[13] Tetapi kedua agama itu akhirnya terjatuh juga kedalam sebuah perang yang disebut dengan Perang Salib. Perang ini akhirnya menjadi sebuah perang agama yang dalam artian bukan perang yang berdasarkan perbedaan ajarannya sehingga berperang. Memang bagi umat Kristen pada umumnya perang salib merupakan perang yang dianggap arti rohani atau mulia dan dianggap sebagai suatu kebajikan yang besar, tetapi dalam praktek perang itu tidak berbeda dengan perang yang biasa.
Perang salib adalah merupakan perang yang terjadi sebagai umpan balik dari pembalasan orang Kristen. Dengan memakai simbol salib pada setiap peralatan perang, mereka menempelkan sebuah salib dari kain merah dan pada bahu atau dadanya sebagai tanda bahwa mereka mau pergi merebut Yerusalem, tempat Yesus disalibkan. Mereka menganggap bahwa perang itu adalah suci terlihat dari sebuah semboyan yang menyerukan “Allah menghendakinya!”[14]. Mereka mengikut sertakan kemuliaan dari nama Allah dalam perang ini. Dengan demikian perang salib merupakan sebuah perang yang bersifat Politik dan sebaiknya di hindarkan, terutama perang antar agama karena hal demikian tidak diinginkan oleh setiap agama. Untuk itu setiap agama haruslah saling menghargai dan menjaga supaya kerukunan antar umat beragama dapat terwujud.
Daftar Pustaka
Akhmad.Iqbal.
(Jogyakarta: Bangkit Publisher)
Enklaar.I,Berkhof.H, H.
2005 Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Esposito John L.
1994 Ancaman Islam. Mitos atau Realitas, (Jakarta: Mizan)
James Turner, Johnson.
2002 Perang Suci Atas Nama Tuhan Dalam TradisiBarat Dan Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah)
Munir S.Ag,
2009 Kontak Islam dan Barat Dalam Peradaban Abad Pertengahan, Artikel dari Pondok Pesantren Al Mukmin, Solo.
Data Internet
http://ms.wikipedia.org/wiki/Perang_Salib. diambil tanggal 10 September 2011
http://zamiele.onsugar.com/Sejarah-Perang-Salib-2787711, diambil tanggal 11 September 2011
http://almukminngruki.com/index.php?option=com_content&view=article&id=143:perangsalib&catid=36:artiekel-ustadz&Itemid=59